HUMOR DAN HOROR DALAM RAKUGO: SAN NEN ME (SEBUAH TRADISI PERTUNJUKAN KOMEDI VERBAL JEPANG KUNO)
Ita Fitriana
Japanese Department
Jenderal Soedirman University
Purwokerto, Indonesia
ABSTRACT
This
study aims to (1) identify deviations rakugo
principles of cooperation in humor and horror. (2) Describe the principles of
politeness rakugo deviations in humor
and horror, and (3) describe the implementation of the principle of cooperation
and courtesy irregularities in the use of rakugo`s
language. The object of this research is the deviation principles of
cooperation and the principle of modesty in the rakugo. The data in this study is the form of words, sentences, and
discourse monologues in rakugo. This
research is a qualitative research using descriptive method. Methods of data
analysis use a unified method. Results of this study are form of criticism,
satire, or just to be funny. Deviations from the principle of cooperation
includes conversations that are excessive, lack of information, convoluted,
delivering information that is inaccurate, unreasonable and illogical, talks
without direction, and word games. The shape deviation politeness principle
covering filed words directly to the listener, of course, harmful to others,
maximize disrespect to others, maximize profits and minimize losses themselves,
stating incompatibility, concerned antipathy rather than sympathy. The result
of research collaboration principles humor and horror in rakugo (an Old Japanese Oral Tradition Perform) can be divided into
three aspects. (1) Deviations principles of cooperation (2) Deviation
politeness principle (3) Implementation of irregularities cooperative principle
and the principle of politeness humor and horror in rakugo (An Old Japanese Oral Tradition Perform).
KEYWORDS:
Deviation Principle of Cooperation,
Deviation Principle of Modesty, Discourse Rakugo
1.
Pengantar
Jepang adalah negara kecil namun memiliki keragaman budaya yang sangat
unik dan menarik. Berbagai macam budaya Jepang mampu mencerminkan jatidiri
Jepang sesungguhnya seperti ikebana `seni
merangkai bunga ala Jepang`, origami `seni
melipat kertas ala Jepang, ukiyo-e
`seni lukis ala Jepang`, bunraku `seni pertunjukan sandiwara
boneka Jepang`, dan lain sebagainya. Salah
satu seni pertunjukan Jepang yang masih dipertahankan hingga saat ini adalah
tradisi rakugo.
Rakugo adalah sebuah pertunjukan komedi tradisional Jepang,
yang dipentaskan oleh satu orang di atas panggung dengan posisi duduk. Orang
yang mementaskan rakugo disebut rakugoka. Rakugo merupakan hiburan rakyat yang diperkenalkan oleh seorang
pendeta Budha pada abad ke-17, dan masih populer hingga sekarang ini. Di atas zabuton (bantal untuk alas duduk
tradisional Jepang) seorang rakugoka
menciptakan sebuah drama imajiner dengan cara berbicara secara kreatif dengan
berbagai menggunakan ekspresi wajah untuk menggambarkan semua jenis karakter
dalam cerita. Alat peraga yang digunakan di rakugo
hanya ada dua, yaitu kipas lipat dan saputangan handuk. Kipas lipat dan saputangan
handuk digunakan untuk mewakili banyak benda yang berbeda seperti sumpit, pena,
gunting, kertas, dompet, dan sebagainya. Cerita rakugo diakhiri dengan adanya unsur komedi yang menyebabkan
penonton tertawa, atau disebut dengan
istilah ochi (karakter ochi bisa juga dibaca raku yang merupakan asal mula untuk
istilah rakugo) sehingga cerita dalam
rakugo menjadi lebih menarik. Saat
ini, cerita Rakugo telah diterjemahkan
dalam berbagai macam bahasa, misalnya;
bahasa Inggris, bahasa Perancis, bahasa Tionghoa, dan bahasa Korea. Sehingga Rakugo mulai dikenal di seluruh dunia
termasuk Indonesia.
Sebagian
besar cerita rakugo diambil dari
kehidupan orang biasa berbaur dengan kesenangan dan kesedihan. Dalam cerita rakugo tidak jarang pula ditemukan unsur
mistis namun berbalut dengan unsur komedi. Salah satu judul rakugo yang memiliki kedua unsur
tersebut berjudul san nen me `tahun
ke tiga`.
Agar komunikasi berjalan
baik, perlu adanya tujuan percakapan yang disampaikan oleh petutur kepada pendengar.
Menurut Chaer (2007:44), salah satu hakikat bahasa adalah
bermakna. Cabang ilmu Linguistik yang mengkaji tentang makna dalam suatu
tuturan adalah semantik dan pragmatik. Semantik adalah cabang linguistik yang membahas
arti atau makna (Verhaar, 2004:13). Sedangkan pragmatik adalah cabang ilmu
linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat
komunikasi antara penutur dengan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda
bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan (Verhaar, 2004:14). Sehingga,
cakupan makna pragmatik lebih luas dalam mengkaji makna suatu ujaran yang
dipengaruhi oleh konteks yang dapat mengubah makna gramatikal agar memiliki
maksud dan tujuan tertentu
Konteks dalam kajiannya membahas kedudukan
penutur dan pendengar serta latar percakapan terjadinya suatu ujaran, dalam hal
ini konteks juga dapat disebut dengan situasi ujar. Makna yang dipengaruhi oleh
adanya situasi ujar inilah yang ingin dicapai penutur supaya pendengar memahami
tujuan pembicaraan. Namun, untuk mencapai tujuan suatu ujaran perlu adanya
hubungan kerjasama yang baik antara penutur dengan pendengar. Agar suatu maksud
pembicaraan dapat tersampaikan dengan baik, komunikasi secara efektif dan
efisien memiliki peranan penting untuk menghindari adanya ambiguitas.
Menurut Grice (1975:44), bahwa implikatur
ditujukan untuk memperhitungkan sesuatu yang dapat penutur implikasikan,
sarankan, ataupun artikan, berbeda dari yang diucapkanya secara literal. Supaya
terjadi kesamaan tujuan dalam pembicaraan, penutur sebaiknya berusaha supaya pendengar
paham. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai suatu percakapan
tidak lugas atau terlalu bertele-tele sehingga sulit untuk dipahami. Grice (1975:49) juga mengemukakan beberapa maksim
dalam prinsip kerjasama yang perlu dipenuhi demi mencapai pemahaman maksud yang
diimplikasikan oleh penutur. Dengan prinsip kerjasama dapat menganalisis
fenomena kebahasaan yang ada di sekitar kita. Humor dapat tercipta apabila
terjadi pelanggaran prinsip kerjasama. Dengan adanya pelanggaran prinsip
kerjasama suatu pembicaraan menjadi tidak wajar maka kelucuan pun bisa terjadi.
Menurut Ross (2005:1) humor adalah sesuatu yang membuat seseorang tertawa atau
tersenyum. Pendengar bisa terangsang secara spontanitas dalam tuturan berupa
kelakar tawa dapat dipacu oleh humor.
Agar penerima humor bisa tertawa,
diperlukan adanya kesepakatan pemahaman
makna humor yang disampaikan oleh penutur. Dalam humor sering terjadi
pelanggaran prinsip kerjasama, namun di sisi lain humor dalam humor masih
terdapat adanya maksim relevansi karena pendengar menanggapi humor yang
dikemukakan oleh penutur meski hanya melalui tawa.
Tulisan ini menggunakan
aspek kebahasaan mengacu pada buku Analisis Wacana Pragmatik karya Prof. I Dewa
Putu Wijana, S.U.,M.A (2006), memaparkan tentang bentuk dan makna kebahasaan
serta Ross (1998:1) mengenai grafologi bahasa. Kemudian, aspek pragmatik dari
segi aspek komponen tutur dengan formulasi SPEAKING akan menggunakan teori dari
Nadar (2009) tentang prinsip kerjasama.
Seorang
rakugoka dituntut untuk bisa
menyampaikan maksud humor kepada pendengar dengan baik. Meskipun dalam
penyampaian humor rakugoka dibatasi
oleh alat peraga. Berikut contoh dialog yang dikemukakan oleh rakugoka dalam salah satu kisah rakugo:
亡くなった先妻の幽霊が答えてわく...
「仕方がないじゃありませんか。だって…
坊主頭で出て愛想を尽かされるといけないから,毛の伸びるまで待っておりました〉。」
Nakunatta sensai no yûrei ga kotaetewaku … “Shikata ga nai jya arimasenka.
Datte… nakunaru toki ni bōzugashira ni sa retanode,〈bōzugashira de dete aiso o tsukasa reruto ikenaikara, ke no nobiru made
matte orimashita〉”
`dan…dijawablah
oleh arwah istri pertamanya “Abisnya..apa boleh buat, pas aku mati kepalaku
dibotakin kan..asal kamu tau aja aku gak bisa menampakkan diriku dalam keadaan
masih botak seperti ini, oleh karena itu aku menunggu sampai rambut dikepalaku
ini tumbuh. `
Berdasarkan
dialog dalam cerita humor Jepang di
atas, dapat diketahui bentuk aspek kebahasaan yang digunakan untuk berhumor
terdapat pada kalimat kata 〈bōzugashira de dete aiso o
tsukasa reruto ikenaikara, ke no nobiru made matte orimashita〉`“Abisnya..apa boleh buat, pas aku mati kepalaku
dibotakin kan..asal kamu tau aja aku gak bisa menampakkan diriku dalam keadaan
masih botak seperti ini, oleh karena itu aku menunggu sampai rambut dikepalaku
ini tumbuh`.
Tokoh cerita rakugo diatas, memiliki kepercayaan
agama Shinto. Dalam kepercayaan agama
Shinto di Jepang terdapat pengaruh
agama Budha yaitu seseorang yang telah meninggal maka jasadnya akan dikremasi.
Namun, dalam kepercayaan agama apapun di dunia ini, dapat dipastikan jasad
orang yang meninggal dunia tidak akan mengalami pertumbuhan baik dari segi
berat badan, tinggi badan, bahkan panjang rambut di kepala jasad orang yang
telah tiada. Maka, perkataan “Aku menunggu sampai rambut di kepalaku ini
tumbuh” oleh arwah perempuan tersebut merupakan perkataan yang tidak bisa
diterima karena orang pada saat meninggal bila kepalanya telah digundul maka di
atas kepalanya sampai kapanpun tidak akan tumbuh helaian rambut. Dengan demikian dapat diketahui bahwa
maksim yang dilanggar arwah perempuan dalam cerita rakugo di atas adalah maksim relevansi, kerena situasi yang
dilakukannya.
Komponen humor SPEAKING yang terdapat
pada rakugo di atas memiliki latar
belakang di halaman belakang rumah, di suatu malam dengan situasi tuturan
bersifat informal (S), dengan dua pembicara berumur sekitar dua puluh tahunan
dan terjadi kekontrasan antar penutur ketika pendengar tidak bisa menerima
bahwa rambut pada orang yang telah mati tidak mungkin akan tumbuh (P). yang
bertujuan untuk memaknai suatu pernyataan seseorang dan berakhir menjadi humor
(E). dalam cerita rakugo di atas
terdiri dari berbagai tahapan, yaitu diawali dengan arwah seorang istri yang
mendatangi suaminya yang masih hidup, kemudian arwah tersebut mengatakan malu
untuk menemui suami yang masih hidup dalam keadaan kepala tanpa adanya helaian
rambut, sehingga menimbulkan pemahaman yang berbeda (A). Intonasi dalam dialog
dapat dianalis dengan mendengarkan dengan seksama setiap ujaran yang
disampaikan oleh rakugoka. Ekspresi sedih
diperlihatkan oleh penutur dalam hal ini arwah perempuan pada awal percakapan
dan ekspresi bingung oleh pendengar yaitu suami yang masih hidup pada akhir
percakapan (K). Instrumen yang berupa rambut sebagai mahkota perempuan tidak
terdapat dalam percakapan (I). Norma juga tidak terdapat dalam percakapan
diatas (N). percakapan antara arwah perempuan dan suami yang masih hidup dalam rakugo diatas adalah sebuah dialog (G).
Berdasarkan
latar belakang di atas, penulis meneliti humor dalam rakugo `sebuah komedi klasik Jepang` ini berdasarkan aspek
kebahasaan, pragmatik, dan komponen tutur. Dengan demikian tulisan ini penulis
beri judul “Humor dan Horor in Rakugo:
San Nen Me (Sebuah Tradisi Verbal Jepang Kuno).
2.
Metodologi
Metode yang digunakan dalam tulisan ini, penulis menggunakan metode kajian
kepustakaan untuk mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan. Sedangkan
saat mengkaji data, penulis menggunakan metode deskriptif analitis yaitu
membahas suatu masalah dengan cara menata dan mengklasifikasikan data serta
memberikan penjelasan tentang keterangan yang terdapat pada data-data tersebut.
Kemudian menganalisis data-data yang diperoleh.
Metode
kualitatif dan pemaparan secara deskriptif digunakan untuk pemaparan anaisis
dalam tulisan ini. Menurut Nazir (1988:63) deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status
sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian
deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antarfenomena yang diselidiki.
Sebelum
melakukan analisis data, rakugo ditonton
dengan seksama. Hal ini sejalan dengan Ross (2005:1) bahwa humor adalah sesuatu
yang menimbulkan tawa maupun senyuman.
Berdasarkan
buku “Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa” yang dikemukakan oleh oleh
Sudaryanto (1993:203-206) mengenai metode simak dan teknik catat identifikasi
serta pengumpulan data percakapan dilakukan dengan meyimak atau memilah-milah
secara seksama bagian yang mengandung humor.
Pembahasan
Tulisan ini
berfokus pada analisis
beberapa percakapan yang berimplikasi humor melalui kajian prinsip percakapan.
Untuk itu penelitian ini menggunakan teori yang berhubungan dengan linguistik,
khususnya subkajian dalam pragmatik.
3.1 Pragmatik
Menurut Tomatsu (2001:2), “Goyouron ha gengai no imi wo toriatsukau
ga, jisseikatsu ni atte ha, koushita gengai no imi wo atsukaetoru koto ga
kiwamete juuyou dearu.” `Pragmatik berhubungan dengan makna implisit
sehingga di kehidupan nyata perlu adanya penelitian mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan makna tersirat ini.`
Sejalan yang
dikemukakan oleh Koizumi, menurut Bussmann (1996:374), Pragmatics is a subdisipline of linguistics developed from different
linguistic, philosophical and sociological tradition that studies the
relationship between natural language expressions and their uses in specific
situations.
`Pragmatik
adalah sebuah subdisiplin linguistik yang dikembangkan dari perbedaan
linguistik, filosofi, dan tradisi sosiologi yang mempelajari hubungan antara
ekspresi natural bahasa dengan situsai spesifik yang digunakan di dalamnya`. Menurut
Chaer (2007:23), pragmatik adalah ilmu yang mengkaji bagaimana satuan-satuan
bahasa itu digunakan dalam pertuturan dalam rangka melaksanakan komunikasi. Tidak
hanya terbatas pada Koizumi, Bussman, Chaer, Yule (2006:3-4) menjelaskan
definisi pragmatik dengan empat penjelasan definisi, yaitu: (1) pragmatik
adalah studi tentang maksud penutur (2) pragmatik adalah studi tentang makna
kontekstual (3) pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang
disampaikan daripada yang dituturkan (4) pragmatik adalah studi tentang
ungkapan dari jarak hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai
bentuk-bentuk itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan
kajian tentang bahasa dengan konteks tuturan.
3.1.2 Prinsip Kerjasama
Dalam
suatu pembicaraan, penutur dapat menyampaikan gagasannya seandainya lawan
tuturnya bekerjasama. Memang kadang-kadang terjadi kesalahpahaman, tetapi
kebanyakan penutur dan lawan tutur dapat saling memahami maksud tuturan yang
mereka buat (Finegan, 1992:310); (Palmer, 1986:22); (Wijana, 1996:45) via Nadar
(2009:24). Formulasi tentang prinsip umum dalam penggunaan bahasa diajukan oleh
Grice (1975:45) dan istilah yang diberikan untuk prinsip-prinsip tersebut
adalah prinsip kerjasama (Nadar, 2009:24)
Grice (dalam Nadar, 2009:25), dalam
prinsip kerjasama terdapat empat maksim:
(1)
Kuantitas: Jika Anda membantu saya memperbaiki
mobil, saya mengharapkan kontribusi Anda sesui kebutuhan, tidak lebih, tidak
juga kurang. Misalnya, kalau pada saat tertentu saya memerlukan empat skrup,
saya ingin Anda memberikan kepada saya empat skrup bukannya dua atau enam.
(2)
Kualitas: Saya mengharapkan kontribusi Anda
sungguh-sungguh, bukan palsu. Kalau saya memerlukan gula sebagai bahan pembuat
kue yang Anda minta saya membuatnya saya tidak mengharapkan Anda memberikan
garam kepada saya; kalau saya memerlukan sendok, saya ingin sendok sungguhan
bukan sendok mainan yang terbuat dari karet.
(3)
Relasi: Saya menginginkan kontribusi pasangan
saya sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan pada setiap tahapan transaksi;
seandainya saya sedang membuat adonan kue, saya tidak mengharapkan diberi buku,
atau kain popok bayi walaupun kontribusi barang-barang ini mungkin sesuai untuk
tahapan berikutnya.
(4)
Cara: Saya mengharapkan pasangan saya menjelaskan
kontribusi apa yang diberikannya dan melaksanakan tindakannya secara beralasan.
Wijana dalam Nadar (2009:26) menjelaskan
agar proses komunikasi berjalan lancar diperlukan kerjasama antara penutur dan
lawan tutur. Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan
kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan lawan bicaranya. Maksim
kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya,
didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Maksim relevansi mengharuskan setiap
peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah
pembicaraan. Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan
berbicara secara langsung, tidak kabur dan tidak berlebih-lebihan.
3.
Kesimpulan
Suatu humor dapat
terjadi apabila terdapat pelanggaran atau
pematuhan maksim prinsip kerjamasa pada suatu tuturan oleh seorang penutur. Pada
cerita rakugo di atas terdapat
pelanggaran maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim
cara. Pada cerita rakugo di atas, respon yang muncul dengan adanya humor yakni marah,
bingung, dan kaget.
DAFTAR PUSTAKA
Bussmann, Hadumod. 1996. Dictionary
of Language and Linguistics. London: Routledge
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Grice, H.P. 1975. “Logic and
Conversation”, Syntax and Semantics. Speech Act,3. New York: Academic
Press.
Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha
Ilmu
Nazir, Muhammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Wajana University Press.
Ross, Alison. 1998. The Language of
Humour . London: Routledge.
Tomatsu,
Koizumi. 2001. Nyuumon Goyouron Kenkyuu.
Tokyo: Kenkyusha
Verhaar, J.W.M. 2004. Asas-asa Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Wijana, I Dewa Putu. 2006. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offet
Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
LAMPIRAN
KISAH RAKUGO:
SAN NEN ME `Tiga Tahun Kemudian`
Rakugo yang berjudul san nen me menceritakan tentang kehidupan sepasang muda suami
isteri yang saling mencintai. Namun, sang istri jatuh sakit dan hanya bisa
berbaring di tempat tidur. Sang suami dengan sepenuh hati merawat istri yang
sedang sakit, pada saat itu juga istri merasa ajalnya semakin dekat dan berkata
kepada suaminya, “Kalo aku mati, aku akan sedih karena kamu pasti akan menikah
lagi dengan perempuan lain..”
Suami pun menjawab “Jangan pesimis gitu dong..kamu pasti
sembuh. Kalaupun terjadi hal yang terburuk sekalipun, sesuatu terjadi pada mu,
seumur hidupku perempuanku cuman kamu seorang”. Istripun menyangkal tidak
percaya “Tapi, lelaki sebaik kamu, tak mungkin orang lain akan tega melihatmu
sendiri tanpa istri, bisa dipastikan pihak kerabat dan tetangga akan bersikeras
menyuruh kamu untuk menikah lagi, dan pada akhirnya kamu gak bisa nolak kan....”.
Untuk menyakinkan istri sang suamipun mengajak istri untuk membuat kesepakatan
dengan mengatakan “kamu kok khawatir sebegitunya sih, kalo gitu gini aja.. kalaupun
aku didesak dan harus menikah lagi, waktu malam resepsi kamu jadi arwah dan
datanglah ke pesta resepsiku. Kalo yang datang arwahnya kamu...huhhhh..aku
pasti akan senang. Biarkan istri baruku kaget dan pergi meninggalkan aku. Kalo
hal ini terus berlanjut dua sampai tiga kali, akan ada rumor laki-laki itu diikuti terus ma arwah istri
pertamanya. Pada saat itu juga tidak akan ada yang mau jadi pengantin
perempuannya. “. Kata-kata tersebut menenangkan hati sang istri, tak lama
kemudian sang istripun meninggal dunia. Sehingga sang suamipun menduda. 41 hari
lebih sudah waktu berlalu, paman kerabat dari suamipun berkata berkali-kali “ayo..cepat
nikah lagi” paman itu tak henti-hentinya mencarikan istri baru. Pada akhirnya sang suamipun nikah lagi dan
tentu saja saat malam resepsi pernikahan arwah dari istri pertama tak kunjung
datang meskipun sudah ditunggu semalaman. Di hari kedua, hari ketigapun
hari-hari berlalu namun arwah istri pertama tak kunjung datang juga. Dengan
demikian seiring berjalannya waktu jalinan asmara dengan istri barunyapun
terjalin dengan baik, dan tidak lama kemudian lahirlah seorang anak dari
pernikahan keduanya.
Pada suatu
malam tahun ketiga pernikahan dengan istri keduanya. Istri dan anaknya tertidur
lelap, namun entah kenapa sang suami tidak bisa tidur, suamipun keluar untuk
merokok. Tiba-tiba udara terasa dingin, dan saat itu pula arwah istri
pertamanya berdiri di depannya. Arwah istri pertamapun berkata “kamu ini
ya..kala itu kamu berjanji pada ku.. tapi kamu telah mengingkarinya sampai hati
kau menikahi perempuan secantik itu dan kaupun telah menjalin hubungan intim
sampai-sampai lahir anak secantik itu pula, terkutuklah kamu...apa kau tidak
merasa telah mengingkari janji?”. Sang suami pun tidak terima dibilang
demikian, berkatalah sang suami kepada arwa istri pertamanya “Sebentar.. situ
yang mengingkari janji. Aku nunggu kamu saat malam resepsi pernikahanku yang
kedua, tapi kamu gak datang-datang juga. Malam berikutnyapun aku menunggumu. Apa
kamu tidak akan pernah datang pikirku. Kenapa kamu gak datang di waktu itu?”
langsung dijawab oleh arwah istri pertamanya. “yahhh...apa boleh buat, soalnya
aku mau datang ke resepsi pernikahanmu itu
dengan rambut dikepalaku makanya aku menunggu sampai rambut dikepalaku
ini tumbuh”.
Komentar
Posting Komentar